Yang disebut wali Allah adalah orang yang dia mencintai Allah dan dekat dengan Allah Dan orang seperti ini harus memiliki sifat-sifat berikut :
1. Dia harus ittiba’ (mengikuti) Nabi r, menjalankan perintah Nabi r dan menjauhi larangan-larangan beliau. Berdasarkan firman Allah U:
قل إن كنتم تحبون الله فاتبعوني يحببكم الله
Katakanlah :”Jika kalian mencintai Allah maka ikutlah aku maka Allah akan mencintai kalian” (Ali Imron :31)
Ayat ini merupakan ayat ujian yang turun untuk menguji orang-orang yang mengaku mencintai Allah U (termasuk di dalamnya orang yang mengaku dia adalah wali Allah). Jika dia benar mengikuti Nabi r maka kecintaannya kepada Allah U adalah benar, dan jika tidak maka cintanya adalah dusta.
2. Dia harus bersifat lembut kepada kaum muslimin dan keras kepada kaum kafir, dan berjihad di jalan Allah dan tidak takut dengan celaan orang-orang yang mencela, sesuai dengan firman Allah U:
يا أيها الذين آمنوا من يرتد منكم عن دينه فسوف يأتي الله بقوم يحبهم ويحبونه, أذلة على المؤمنين أعزة على الكافرين يجاهدون في سبيل الله ولا يخافون لومة لائم
Wahai orang-orang yang beriman barang siapa dari kalian yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka mencintai Allah yang bersifat lemah lembut kepada orang-orang mukmin, yang bersifat keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah dan tidak takut dengan celaan orang yang mencela.(Al-Maidah : 54)
3. Dia harus bertaqwa dan beriman, yaitu beriman dengan hatinya dan bertaqwa dengan anggota tubuhnya, sesuai dengan firman Allah U:
ألا أن أولياء الله لا خوف عليهم ولا هم يحزنون الذين آمنوا وكانوا يتقون
Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih (hati). (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertaqwa. (Yunus : 62,63)
Maka barangsiapa yang mengaku sebagai wali Allah namun tidak memiliki sifat-sifat ini maka dia adalah pendusta.[1]
Namun perlu diperhatikan bukanlah syarat seorang wali dia harus ma’sum (tidak pernah berbuat salah), dan tidak pula dia harus menguasai seluruh ilmu syari’at. Bahkan boleh baginya tidak mengetahui sebagian syari’at atau masih samar baginya sebagian perkara agama. Oleh karena itu tidak wajib bagi manusia untuk mengimani seluruh apa yang dikatakan oleh seorang wali Allah sehingga dia tidak menjadi seorang Nabi r, tetapi seluruh yang dikatakannya dikembalikan kepada ajaran Muhammad r. Jika sesuai, maka perkataannya diterima dan jika tidak, maka ditolak. Dan jika tidak diketahui apakah sesuai atau tidak dengan ajaran Nabi r maka tawaquf.[2] Dan inilah sikap yang benar kepada wali Allah. Adapun sikap yang salah kepada wali Allah yaitu membenarkan semua apa yang diucapkan dan yang dilakukannya, atau sebaliknya jika melihat dia mengatakan atau melakukan sesuatu yang menyelisihi syari’at maka langsung mengeluarkan dia dari kewaliannya.[3]
Umar bin khottob t adalah contoh seorang wali Allah, yang Rosulullah r bersabda tentangnya :
قد كان فيما قبلكم من الأمم ناس محدثون فإن يكن من أمتي أحد فإنه عمر
Pada umat-umat sebelum kalian ada orang-orang yang muhaddatsun (yang mendapatkan berita ghoib atau sejenis ilham dari Allah). Kalaupun ada di kalangan umatku satu orang, maka dia adalah Umar.[4]
إن الله ضرب الحق على لسان عمر و قلبه
Sesungguhnya Allah menjadikan kebenaran pada lisan Umar dan pada hatinya.[5]
لو كان نبي بعدي لكان عمر
Kalaulah ada nabi setelahku maka dia adalah Umar.[6]
Hadits-hadits ini jelas menunjukan bahwasanya Umar t adalah seorang wali Allah, bahkan beliau mendapatkan ilham dari Allah. Namun hal ini tidak menunjukan bahwa Umar t harus ma’sum (terjaga dari kesalahan). Kesalahan yang pernah beliau lakukan diantaranya [7]:
a. Yaitu Nabi r berumroh pada tahun ke enam Hijroh bersama sekitar 1400 kaum muslimin –mereka itu yang berbai’at di bawah pohon- dan Nabi r telah mengadakan perjanjian damai dengan kaum musyrikin setelah melalui perundingan dengan kaum musrikin tersebut untuk kembali ke Madinah pada tahun ini dan berumroh pada tahun yang akan datang. Dan Nabi r memberi beberapa syarat terhadap mereka yang dalam syarat-syarat tersebut ada tekanan kepada kaum muslimin secara dzohir, sehingga hal itu memberatkan kebanyakan kaum muslimin, sedangkan Allah dan Rosul-Nya lebih mengetahui dengan maslahat yang ada di balik itu. Dan Umar t termasuk orang yang tidak setuju dengan hal itu, lalu berkata kepada Nabi r :”Wahai Rosulullah, bukankah kita di atas kebenaran dan musuh kita di atas kebatilan ?”, maka Nabi r menjawab :”Benar”, lalu Umar t berkata lagi :”Bukankah orang-orang yang terbunuh diantara kita masuk ke dalam surga dan orang-orang yang terbunuh di antara mereka masuk ke dalam neraka?”, Nabi r menjawab :”Benar”. Umar t berkata :”Kenapa kita merendahkan agama kita?”, Nabi berkata :”Aku adalah Rosulullah dan Allah adalah penolongku dan aku bukanlah orang yang bermaksiat kepadanya.”, Umar t berkata :”Bukankah engkau berkata kepada kami bahwa kita kita akan mendatangi baitulloh dan berthowaf ?”, Nabi berkata :”Benar”. Nabi r berkata lagi:”Apakah aku mengatakan kepadamu sesungguhnya engkau akan mendatanginya pada tahun ini?”, Umar t berkata :”Tidak”, Nabi r berkata :”Sesungguhnya engkau akan mendatanginya dan berthowaf.”
Umar pun mendatangi Abu Bakar t dan berkata kepadanya sebagaimana perkataannya kepada Rosulullah. Dan Abu Bakar t pun menjawab sebagaimana jawaban Rosulullah r, padahal dia tidak mendengar jawaban Rosulullah r. Dan Abu Bakar t adalah orang yang lebih sering sesuai dengan Allah dan Rosul-Nya dari pada Umar t, dan Umar t mengakui kesalahannya dan berkata :”Aku benar-benar akan mengamalkannya”[8]
b. Ketika Nabi r wafat, Umar mengingkari kematian Nabi r. Namun tatkala Abu Bakar t berkata :”Sesungguhnya dia telah wafat”, maka Umar t pun menerimanya.[9]
c. Ketika Abu Bakar t memerangi orang-orang yang enggan membayar zakat, maka Umar t berkata kepada Abu Bakar t :”bagaimana bisa kita memerangi manusia, sedangkan Rosulullah bersabda :”Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwasanya tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan aku adalah Rosulullah. Apabila mereka mengakui hal ini maka terjagalah darah-darah dan harta-harta mereka, kecuali dengan haknya””, maka Abu Bakar t berkata :”Bukanlah Rosulullah bersabda “kecuali dengan haknya”?, sesungguhnya zakat termasuk haknya. Demi Allah kalau mereka itu menolak untuk membayar zakat kepadaku yang mereka membayarnya kepada Rosulullah maka aku akan memerangi mereka karena ketidakmauan mereka”. Berkata Umar t :”Demi Allah tidaklah ada, kecuali aku melihat Allah telah melapangkan dada Abu Bakar untuk memerangi (orang-orang yang enggan membayar zakat), maka aku mengetahui bahwasanya dia adalah benar”[10]
Faidah yang bisa diambil dari kisah ini adalah [11]:
a. Seorang wali tidak ma’sum, bisa berbuat salah, bahkan berkali-kali.
b. Seorang wali bisa memiliki karomah sebagaimana Umar yang mendapat ilham dari Allah U.
c. Tidak berarti seseorang yang mendapat karomah berarti lebih mulia daripada wali Allah yang tidak ada karomahnya. Sebagaimana Abu Bakar t jelas lebih mulia daripada Umar t, namun dia tidak mendapatkan ilham dari Allah U.
d. Seorang wali tetap harus melaksanakan kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan oleh Allah U dan Rosul-Nya dan menjauhi larangan-larangan Allah U dan Rosul-Nya. Sebagaimana Umar t yang tetap melaksanakan perintah Allah U.
e. Walaupun seorang wali, tapi perkataan dan perbuatannya harus ditimbang dengan Al-Kitab dan Sunnah Nabi r yang ma’sum. Sebagaimana ucapan Umar t dikembalikan (ditimbang) oleh Abu Bakar t dengan Sunnah Nabi. Berkata Yunus bin Abdil A’la As-Shodafi : Saya berkata kepada Imam Syafi’i : “Sesungguhnya sahabat kami –yaitu Al-Laits- mengatakan :”Apabila engkau melihat sesorang bisa berjalan di atas (Permukaan) air, maka janganlah engkau anggap dia sebelum engkau teliti keadaan (amalan-amalan) orang tersebut, apakah sesuai dengan Al-Kitab dan As-Sunnah.”, lalu Imam Syafi’i berkata :”Al-Laits masih kurang, bahkan kalau engkau melihat sesseorang bisa berjalan di atas air atau bisa terbang di udara, maka janganlah engkau anggap ia sebelum engkau memeriksa keadaan (amalan-amalan) orang trsebut apakah sesuai dengan Al-Kitab dan As-Sunnah”.[12]
Sehingga tidaklah benar anggapan bahwa Aresto adalah wali Allah karena Aresto adalah mentrinya Iskandar yang kafir (karena tidak ada wali Allah dari orang kafir), yang sebagian orang (diantaranya Ibnu Sina) menyangka bahwa Iskandar adalah Dzulqornain.[13]
f. Seorang wali yang telah jelas bahwasanya perkataan atau perbuatannya menyelisihi Sunnah Nabi, maka dia harus kembali kepada kebenaran. Dan dia tidak menentangnya. Sebagaimana Umar t, beliau tidak membantah Abu Bakar t dengan berkata :”Tapi saya kan wali, saya kan mendapat ilham dari Allah, saya kan dijamin masuk surga, dan kalian harus menerima perkataan saya”
g. Seorang wali harus mematuhi syari’at Muhammad r. Para Nabi saja kalau hidup sekarang harus mengikuti syari’at Muhammad r apalagi para wali. Karena jelas para Nabi lebih bertaqwa daripada para wali dari selain Nabi. Ibnu Mas’ud t berkata :”Tidaklah Allah mengutus seorang nabipun kecuali Allah mengambil perjanjiannya, jika Muhammad r telah diutus dan nabi tersebut masih hidup maka nabi tersebut harus benar-benar beriman kepadanya dan menolongnya. Dan Allah memerintah Nabi tersebut untuk mengambil perjanjian kepada umatnya kalau Muhammad r telah diutus dan mereka (umat nabi tersebut masih) hidup maka mereka akan benar-benar beriman kepadanya dan menolongnya.”[14]
h. Seorang wali tidak boleh menyombongkan dirinya dengan mengaku-ngaku bahwa dia adalah wali, sebagaimana yang dilakukan oleh Ahlul kitab yang mereka mengaku bahwa mereka adalah wali-wali Allah. Sebagaimana firman Allah :
فلا تزكوا أنفسكم هو أعلم بمن اتقى
Dan janganlah kalian menyatakan diri-diri kalian suci. Dia (Allah) yang lebih mengetahui tentang orang yang bertaqwa. (An-Najm : 32 )
Orang mengaku dirinya adalah wali maka dia telah berbuat maksiat kepada Allah U karena telah melanggar larangan Allah U ini. Dan orang yang bermaksiat tidak pantas disebut wali Allah.[15]
Dan juga bukan termasuk syarat sebagai wali Allah yaitu dia harus memiliki karomah. Namun karomah merupakan tambahan kenikmatan yang Allah berikan kepada siapa saja yang Ia kehendaki dari kalangan para wali-Nya.[16] Dan wali-wali Allah tidak memiliki ciri-ciri yang khusus pada perkara-perkara mubah yang bisa membedakannya dengan manusia yang lain.[17] Pakainnya sama, rambutnya sama, dan yang lainnya juga sama.
[1] Al-Ushul As-Sittah hal 171,172
[2] Al-Furqon hal 71, Al-Ushul As-Sittah hal 175
[3] Al-Furqon hal 82
[4] Riwayat Bukhori no 3469 dan Muslim no 2398
[5] Riwayat Abu Dawud no 2962 dengan sanad yang hasan
[6] Riwayat At-Thirmidzi no 3686, dengan sanad yang hasan
[7] Al-Furqon hal 86,87
[8] Riwayat Bukhori no 2732, 2732
[9] Riwayat Bukhori no 1241, 1242
[10] Riwayat Bukhori no 1399-1400
[11] Disimpulkan dari Al-Furqon hal 85-88
[12] Syarah Aqidah At-Tohawiyah
[13] Al-Furqon hal 42
[14] Lihat tafsir Ibnu Katsir jilid 1, Al-Furqon hal 92
[15] Syarah Al-Ushul As-Sittah hal 170
[16] Majalah As-Sunnah 03/III/1418 hal 25
[17] Al-Furqon hal 69
Tidak ada komentar:
Posting Komentar